Tentang Pengaruh Televisi
Sebuah tulisan, copy – paste dari sebuah grup di Facebook. Credits to Suwahya Tumijanta.
Bismillah. Lebih dari 10 tahun terakhir ini, alhamdulillah keluarga kami survive tanpa televisi (TV) di rumah. Kami memutuskan mem-pesona-non-grata-kan TV sebagai bentuk “permusuhan” kami kepada sebuah “kekuatan” luar biasa yang kini merasuki keluarga-keluarga di Indonesia, dari para konglomerat dan koruptor sampai keluarga pemulung yang makannya Senis-Kamis di kolong-kolong jembatan.
Saya tidak mengatakan bahwa semua orangtua perlu membuang TV miliknya. Sebaliknya, saya justru ingin bersikap realistis dan menerima bahwa TV akan tetap bertahan dan bahkan semakin meraksasa.
Yang ingin saya perangi adalah kecenderungan keluarga-keluarga kita menjadikan TV bukan saja baby sitter bagi anak mereka, tetapi juga guru, penghibur, dan bahkan manajer anak-anak.
Kalau ada sejenis obat yang bisa mempengaruhi kapan dan apa yang dimakan anak kita, apa yang ia mau atau tidak mau pakai, dan menentukan kapan ia tidur atau kapan makan, itulah TV. Bukankah penggunaan “obat” seampuh ini harus mendapat pengawasan yang lebih ketat daripada narkoba?
TV memiliki kekuatan hipnotik yang sangat besar. Buktinya, ia dapat memaksa seseorang untuk menghabiskan 1.500 jam (yang rata-rata dihabiskan seorang anak dari usia nol sampai 17 tahun) dari hidupnya untuk “melongo” pasif di depannya. Oleh karena itu, saya termasuk orang yang yakin bahwa masyarakat perlu melancarkan kontrol ketat terhadap program TV.
Mengapa? Berikut ini cuma sedikit dari segudang alasan mengapa TV merugikan anak-anak kita:
1. TV adalah lawan dari membaca. Program anak seperti Sesame Street yang dipecah-pecah menjadi segmen-segmen per 8 menit (karena tuntutan iklan), misalnya, cenderung mendorong daya konsentrasi yang semakin pendek. Padahal, sebuah buku anak yang baik justru ditulis untuk merebut perhatian anak dalam jangka waktu panjang. Program TV biasanya penuh aksi tanpa henti, constant action, yang tidak banyak memberi anak kesempatan memikirkan dan merenungkan pikiran dan motivasi seseorang tokoh secara kritis.
2. Bagi anak-anak balita, menonton TV adalah sebuah kegiatan antisosial, sementara kegiatan membaca justru memberi anak kesempatan bersosialisasi. Anak tiga tahun yang duduk diam di depan TV tidak menyadari apa yang terjadi di sekelilingnya, sementara membaca bersama orangtua memberi kesempatan berinteraksi secara fisik, emosional, dan intelektual.
3. TV menghilangkan kesempatan anak menggunakan alat belajar yang utama, yakni bertanya. Pernahkah Anda menghitung berapa jam dihabiskan anak kita sebelum ia masuk SD? Berapa dari jam itu yang ia habiskan dengan bertanya “Ini apa, itu apa?” Padahal, bila ia membaca bersama orangtuanya dan memperoleh kesempatan untuk terus menerus bertanya, sebuah proses belajar bahasa yang sangat intensif dapat berlangsung baik.
4. TV mengganggu proses belajar bahasa yang sangat penting, yakni melalui obrolan keluarga. Bahasa anak berkembang dari dua proses: reseptif dan ekspresif, yang diperoleh secara efisien dalam obrolan-obrolan keluarga. Ketika anak menonton TV, ia hanya belajar berbahasa pasif/resepsif dan tidak memperoleh kesempatan untuk, misalnya, mengobrol dengan tokoh film tontonannya.
5. TV memberi anak materi pengetahuan yang dangkal, sedang membaca memberinya kesempatan mengeksplorasi secara mendalam. Menurut sebuah penelitian di Amerika Serikat (AS), berita malam televisi menggunakan rata-rata 3500 kata–cuma separuh halaman surat kabar.
6. TV tidak membiasakan anak memahami proses berpikir. Pada tahun l980, Wakil Presiden TV ABC yang bertanggung jawab atas program anak-anak stasiun TV tersebut, Squire Rushnell, mengakui bahwa ada sejumlah buku anak yang baik yang tidak bisa diadaptasi TV karena banyak perkembangan karakter tokoh-tokohnya, yang terjadi di benak mereka. Bagaimana cara sebuah sinetron, misalnya, memberitahu penonton bahwa salah seorang tokoh sedang berpikir? “You simply can’t put thinking on the screen.” (Anda tak akan bisa meletakkan pikiran itu di layar televisi). Akibatnya, anak tidak terbiasa melihat karakter TV yang memikirkan dan mencari jalan keluar sebuah masalah. Solusi instan, itulah yang biasanya mereka lihat di acara TV.
7. Sebuah penelitian di AS yang melibatkan 6.000 anak menemukan bahwa memang televisi membantu mengembangkan perbendaharaan kata tertentu pada anak-anak kecil. Namun, manfaat ini berhenti sesudah anak berusia 10 tahun. Skip TV cenderung diisi percakapan dengan kata-kata yang sama dengan yang sudah biasa didengar anak, karena itu tidak ada hambatan baru bagi si kecil.
Sebuah penelitian lain terhadap 8 acara TV kesukaan remaja AS menemukan, satu kalimat berisi rata-rata hanya tujuh kata (satu kalimat surat kabar rata-rata berisi 18 kata), dan bahwa 72 persen bahasa dalam program-program TV tersebut berisi kalimat-kalimat sederhana yang patah-patah. Padahal, seorang anak SD kelas 1 yang dibiasakan membaca, mendengarkan dongeng, dan mengobrol bisa menguasai 23.000 kata!
8. TV membekukan kemampuan anak untuk bersimpati pada penderitaan orang lain, sementara buku melatih anak untuk lebih peka dan berbelas kasihan. Seorang anak berusia antara 3-17 tahun, rata-rata menyaksikan 18.000 aksi kekerasan lewat TV yang cenderung mengurangi kepekaannya terhadap kekerasaan dan para korban.
9. Menonton TV adalah kegiatan pasif yang cenderung mematikan keinginan anak untuk bermain aktif/kreatif demi kesehatan mereka. Berapa banyak anak kita yang masih asyik di Minggu pagi dengan kegiatan seperti gobak sodor, ular naga panjang, rumah-rumahan, atau mainan kreatif dan aktif lainnya? Kebanyakan dari mereka memilih “melongo” di depan TV.
10. TV adalah candu, semua orang tahu itu. Berapa banyak anak dan bahkan orang dewasa yang lebih banyak menghabiskan waktu menonton televisi daripada membaca Al-Qur`an, buku agama, mengobrol dengan anggota keluarga, atau belajar dan bekerja?
11. TV bukan saja beperan sebagai baby sitter, tetapi juga merupakan penyebab kedua terbesar ketidakharmonisan keluarga. Paling tidak, itulah yang terjadi di AS. Sebuah survei yang melibatkan 4.000 pasangan suami-istri di AS menemukan bahwa menurut para responden, uang adalah sumber pertengkaran paling utama, diikuti oleh acara TV dan anak-anak, baru kemudian seks.
12. TV mencuci otak anak dan orang dewasa sehingga tidak mampu memandang realitas sosial dan fisik secara objektif. Karena TV mengatakan bahwa semua orang di AS berbicara dengan menggunakan sebuah kata kotor paling terkenal, anak-anak mengira itulah cara bicara yang normal. Karena TV mengatakan bahwa penjahat dalam berbagai film adalah orang-orang dari negara mayoritas Muslim, seperci Chechnya atau Afghanistan , maka anak-anak mengira itulah realitas dunia. Karena TV mengatakan bahwa orang kulit hitam bodoh dan mau saja ditindas sebagai budak, anak-anak kita mengira bahwa orang Afrika lebih bodoh daripada orang kulit putih di AS.
Sudah waktunya para ibu dan bapak melancarkan “perang” terhadap TV. Paling tidak dengan mengontrol secara ketat dosis racun yang ditebarkan acara-acara TV pada anak-anak, dan mengintensifkan usaha menanamkan cinta buku kepada buah hati kita.